Kisah Dari Bugisan di Balik Wedhus Gembel
 |
Refugees in Klateng 6/11/10 |
 |
Relawan IMIKI |
Pada hari kamis tgl 4 november sekitar pukul 21 malam, kami berdelapan duduk santai didepan kantor UKMIK (Unit Kegiatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi) kami sambil ngombrol-ngombrol, banyak hal yang kami bicarakan dari masalah cewek, politik, ekonomi, pendidikan, mistis dan tidak ketinggalan juga kami menyingung soal Korban bencana Gunung merapi di Jogjakarta, wasior dan juga mentawai. Karena keasyikan negombrol tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 01.15 menit dini hari. tiba-tiba dari HP salah seorang teman saya dari Papua mas Aqib namanya terlihat jelas di LCDnya 1 pesan diterima. pesannya singkat tapi menakutkan. jaga diri karena telah ada letusan dahsyat. tanpa berpikir panjang kamipun langsung turn on TV untuk menupdate berita yang terjadi...dan ternyata benar-benar terjadi. ledakan dahsyat benar-benar terjadi, para pengungsipun panik, berlari tak tentu arah, jarak yang aman akhirnya jadi tidak aman....jarak radius vulkanik mencapai 20 km. Kami semua diam, tak ada suara hanya diam dan terus menatap tajam ke layar TV, menyaksikan korban bencana merapi. Anak-anak, nenek, kakek, balita, ibu hamil berlari seperti orang yang kuat dan sehat, hanya karena satu tujuan”Selamat”. Teman-teman, besok kita ke tempat pengungsian. dengan mata masih menatap ke layar kaca dan tanpa berpikir panjang kami semua menjawab”setuju”dengan satu komitmen dan tekad yang kuat dari hati kami masing-masing. Dan dini hari itu juga kami mempersiapkan segalanya walaupun persiapan seadanya, karena kami hanya ingin jadi sukarelawan yang tidak memberikan harta benda tapi kami ingin memberikan tenaga kami untuk menolong korban merapi.
Pada tangal 5 pagi kami mengkordinasai segalanya, dan tepatnya siang hari sekitar jam 1 kami meluncur ke Klateng dengan personel berjumlah 8 (Ibnu, Jack, Irvan, Maulana, Werner, Paul, Aqib dan saya sendiri Tyno) orang dengan bantuan seadanya. perjalanan kami hanya memerlukan 50 menit untuk sampai ditempat tujuan kami. setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan ditengah keramaian kota akhirnya kamipun tiba di tempat pengungsian di daerah klateng.....mobil-mobil dan motor tidak berwarna karena ditutupi debu vulkanik, manusia penuh debu ada dimana-mana, semua penuh dengan siaga dan kepanikan. Saya bengong dan bingung melihat semua ini, membawa pikiran aku kembali ke 4 tahun silam waktu krisis ras yang terjadi di negaraku tercinta Timor Leste yang mengakibatkan ribuan orang tinggal di camp pengungsian selama dua Tahun, Pengungsipun dimana-mana....tapi yang kulihat disini beda....sangat beda. karena yang dihadapi bukan lawan tetapi bukan juga kawan. karena yang ditakuti adalah lawan yang jadi kawan dan kawan yang jadi lawan. Setelah memberitahu maksud kedatangan kami, akhirnya Kami berdelapan pun ke tempat rescue team dan bergabung dengan rescue team. kamipun langsung melaksanakan tugas kami seadanya dan seperlunya.......karena yang ada dipikiran kami hanyalah ingin berbuat sesuatu untuk para pengungsi apapun itu. Setelah sekitar 2 jam kami berada di kantor Kecamatan Klateng, kami dapat instruksi baru untuk ke tempat lain yang lebih membutuhkan tenaga. dan kamipun dibagi dua-dua ke tempat-tempat pengungsian yang ada disitu. Saya dan seorang kawan saya dari Papua Paul namanya ditempatkan di mesjid bugisan..disitu ada sekitar 650 pengungsi. tak ada tikar, tak ada bantal, tidak ada selimut walau sore itu hujan gerimis. Mereka terpaksa diungsikan ke tempat yang agak jahu karena ledakan pada dini hari membuat jarak posko pengungsian mereka yang aman menjadi tidak aman, maka mereka harus diungsikan dengan terpaksa, inilah ketiga kalinya mereka menganti tempat pengungsian dan itu masih ada kemungkinan untuk mengungsi lagi. Sangat menyedihkan dan juga sangat membahayakan berada tempat itu, tapi karena kami sudah bertekad dan komitmen akhirnya kamipun bekerja untuk membantu para pengungsi. Bantuan makanan datang tanpa henti dari berbagai elemen di Indonesia. Mahasiswa, restoran, warung, partai politik, bupati, NGO dan yang berkelompok maupun yang pribadi lainnya. ternyata tenaga kami sangat diperlukan disitu. kami hanya bisa melakukan yang bisa kami lakukan yakni membagi makanan, membantu orang sakit, memberi obat, memberi informasi dan kadang juga kami menghibur para pengungsi dengan kelebihan yang kami miliki. Ibu...kapan kita pulang????aku mau tidur dirumah.....seorang anak kecil berumur 4 tahun menangis dalam dekapan ibunya. Dengan wajah polos dan penuh perasaan anak itu mengungkapkan isi hatinya kepada ibunda tercintanya akan rasa rindunya pada rumahnya, satu ungkapan yang jujur dari hatinya. Ibunya hanya menghibur dengan satu-satunya mainan kecil kesukaan anaknya itu.”sebentar lagi kita pulang nak”. kata ibu itu untuk menghibur anaknya tanpa satu kepastian. Aku tidak punya kata-kata....yang ada dipikiranku hanyalah doa kecil dari hatiku yang paling dalam”Tuhan tabahkanlah mereka dan buka hati mereka bahwa Engkau tidak pernah membiarkan mereka sendiri. Aneh dan lucu juga karena aku berdoa di dalam mesjid, tapi aku yakin Tuhan adalah satu dan sama untuk Manusia.....aku tertawa dalam hati tapi dari hatiku doa kecil itu terus mengalir dan mengalir untuk korban bencana. Malam semakin larut, mereka pun sedikit demi sedikit mulai merebahkan diri diatas tikar dan berbantalkan tas mereka, mungkin karena rasa capek atau mungkin karena hanya ingin tenang sejenak mereka pun perlahan pulas dengan tidur mereka. anak-anak balita ditempatkan dalam mesjid sedangkan yang dewasa beristirahat diluar dengan tempat seadanya. yang laki-laki tetap berjaga untuk mengawasi situasi yang bisa terjadi kapan saja. semakin larut semakin sepi walau banyak orang. akupun duduk melingkar dengan para orang tua yang ada disitu sambil menikmati capuchino suguhan dari bu Narti. Kami ngobrol tentang berbagai isu dan kadang-kadang kami semua tertawa terbahak-bahak ketika pak Harto menceritakan kisahnya yang lucu 10 tahun yang lalu. Dan rasa capek pun menghantui kami semua, Akhirnya satu persatu kami pun terlelap dalam tidur malam kami, tidur yang penuh dengan kewaspadaan dan ketekutan. dan mimpi tentang hari esok pun perlahan-lahan menguasai tidur kami dan kamipun terlena dengan mimpi itu.
Pada pagi harinya suasana agak lain, dengan mata masih mengantuk aku terpaksa bangun dari tidurku....anak-anak saling berkejaran, ibu-ibu duduk-duduk diteras mesjid sambil menikmati udara segar. setelah Sahlat Subuh terdengar dari atap mesjid pada jam 5 pagi semua pengungsi bergegas untuk berdoa mensyukuri hari ini. aku hanya duduk diluar sambil memegang rosaryku dan berdoa dengan rosaryku. sehabis sohlat subuh kami semua bersama-sama menikmati kopi hangat dari para pengungsi, sambil menunggu situasi selanjutnya...tepat pukul 7.20. kami semua dikejutkan dengan sirene dari rescue team. bluuuuuuuuuuurrrrrrrrrr...suara keras terdengar sampai ke telinga kami walau jarak kami dengan gunung merapi mencapai 20 km. Orang-orang panik, akupun bingung mau buat apa, aku hanya bisa berusaha untuk menenangkan para ibu-ibu yang panik, dan ternyata nihil!!!!aku tidak didengarkan. dan terpaksa akupun membantu para pengungsi yang ingin pindah posko dengan membawa barang-barang mereka. namun ditengah kepanikan itu masih ada yang tenang dan tetap tenang. Percaya dan tidak percaya berlomba dalam hatiku. Ternyata beginilah kejadian sebenarnya. aku tidak bisa membayangkan kejadian awal di lereng gunung. bayangkan jarak yang 20 km saja mendengar ledakannya apalagi yang hanya beberapa km saja????? dan ledakan sabtu pagi itu membawa pikiranku menjelajahi awal-awal terjadinya letusan perdana pada tanggal 26 oktober. Saat dimana Mbah Maridjan juru kunci gunung merapi dan para penduduk lainnya menjadi korban pertama sang Merapi, itu baru kena debu panasnya belum laharnya.....kena debu saja rumah-rumah terbakar dan bahkan binatang-binatang seperti dibakar. dan akhirnya aku sadar bahwa ini benar-benar nyata dan sangat mengerikan. kadang aku tidak berpikir apa-apa ketika aku menonton melalui TV, membaca melalui Post Jogja, melalui KOMPAS atau mengupdate melalui Internet tapi setelah aku berada ditengah-tengah dan menyaksikan secara langsung kejadian itu akhirnya aku sadar bahwa Mereka benar-benar telah menjadi korban bencana Alam. Seharian itu akupun ikut dalam kepanikan pengungsi tetapi aku tetap tenang karena aku sudah pernah punya pengalaman yang sama walau kejadiannya berbeda. Seteleh Rescue team memberikan aba-aba akhirnya para pengungsipun tenang walau rasa panik tetap jelas ada di wajah mereka, karena trauma telah menguasai mereka dengan kejadian dan letusan sebelumnya yang telah menghanguskan semua harta benda mereka dan juga mencabut nyawa saudara mereka. Setelah situasi kembali normal aku kembali ke tugasku semula dan mulai berbaur dengan para relawan lainnya untuk membantu para korban. pada sore harinya sekitar jam 6 kami di sms oleh teman kami di Kampus bahwa kampus kamipun telah dipenuhi oleh pengungsi. kami berdelapan yang dipimpin oleh mas Aqib re-koordinasi team kami dan kamipun kembali ke kampus kami untuk melayani pengungsi di kampus kami. Satu kebahagiaan yang tidak pernah aku bayangkan adalah ketika aku pamit kepada salah seorang pengungsi dia mengatakan”Kami akan selalu mendoakan negaramu. Banyak orang Indonesia hanya duduk dan menonton TV tapi kamu telah menjadi bagian dari kami. makasih banyak ya mas...... Perasaan terharu dan sedih muncul dari dalam hatiku tapi aku berusaha untuk menahannya dan hanya bisa berkata”kuat dan sabar ya..Tuhan tahu yang terbaik untuk anak-anakNya”dan akupun pamit. Rasanya tidak ingin pergi dari Desa Bugisan, desa yang telah mengajarkan aku tentang arti dari satu kesabaran, arti dari rasa solidaritas dan satu pengalaman hidup, tapi karena tugas lain menunggu akupun harus pergi. Dalam perjalanan pulang pikiran saya tidak bisa hilang dari wajah-wajah para pengungsi yang telah aku kunjungi. wajah mereka seolah mendominasi pikiranku dan aku berdoa dalam hatiku”Tuhan aku bersyukur atas semua yang telah kau berikan kepada kami, jagalah mereka yang masih ditempat pengungsian dan terimalah mereka yang telah meninggal dunia, Semoga segalanya berjalan dengan baik. aku menutup doaku dengan pujian dan syukur untuk Bundaku Tercinta Ibu Yesus Kristus dan Pelindung sejatiku Yesus Kristus Raja Damai.
Itulah kisah perjalanan saya ketika menjadi relawan di tempat pengungsian di Klateng Jogjakarta......dan semoga kisah ini bisa membuka hati kita untuk berani bersyukur dan berani untuk memberikan sedikit kelebihan kita kepada mereka yang berkekurangan, karena satu roti dapat memberikan satu kebahagiaan kepada mereka yang sangat kelaparan dan senyuman kepada mereka yang menangis karena kelaparan.
El Tyno Perdydo
082147058624
Tidak ada komentar:
Posting Komentar